Karyaku


Kapten Basket Kapten Hatiku


   K
adang aku merasa aku tak menyayanginya, kadang pula aku merasa ku tak memiliki dirinya. Aku selalu teringat ketika dia mengirim pesan singkat yang berbunyi manis. Kusangka dia mengirim itu sesuai kata hatinya. Tapi, aku salah. Dia hanya mengirim pesan singkat itu dengan keisengan yang dia miliki. Restu memang jahil. Di dalam pikirannya tidak ada tempat untuk seorang gadis sepertiku. Gadis terbuang yang tak punya ayah dan ibu. Gadis yang tidak terlalu tinggi, hitam manis dan berkacamata tipis. Tetapi, aku tetap tegar menghadapinya.
“Ditya ...“
“Iya Bunda, sabar, Ditya lagi make baju. Sebentar lagi Ditya turun kok!”
“Cepeeeetan... saudara-saudaramu yang lain sudah siap“
“Iyaaaaaa...“
Bunda, begitu aku memanggilnya. Wanita setengah baya yang selalu menyayangi semua anak panti yang diasuhnya. Yap... aku adalah seorang gadis panti. Tepatnya panti asuhan PELANGI. Kata Bunda, nama pelangi itu dijadikan nama panti asuhan ini agar panti ini seperti pelangi yang berwarna-warni tetapi tetap indah. Maksudnya, walaupun kita–anak-anak yang tinggal di panti ini–berasal dari orang tua yang berbeda-beda, kita tetap saudara. Bunda tidak punya suami. Apalagi anak. Hanya kamilah anak-anaknya. Bunda punya saudara tetapi, jauh.
“Dityaaaaa... cepaaaaat... ke-24 saudaramu sudah menunggumu“
“Sabaaaaar... bentar lagi“
Aku turun dengan tergesa-gesa. Sudah jam 7.05. Aduuuuh... telat deh! Ini gara-gara PR matematika–pelajaran yang paling aku benci–yang jumlahnya ada 50 soal.
“Pak Brahma sialaaaan...“ kataku kesal dalam hati pada guru matematikaku yang memberi soal segunung plus susahnya segudang itu.
Nah... Pak Brahma adalah guru ter-cool yang pernah ngajar di SMA Albert Einstein, sampai saat ini. Ugh... banyak banget cewek yang demam matematika dibuatnya. Hmp... tinggi, cakep, cool, kaya dan pintar matematika. Apanya yang kurang, coba? Gosip-gosipnya nih Bu Riska–Guru Bahasa Inggris–juga naksir Pak Brahma loh... Si Perawan Tua itu selalu luluh sama cowok yang cakep. Tapi, ngga laku-laku juga... kasihan! Walaupun semua orang memuja-muja Pak Brahma ngga jelas. Aku tetep ngga bisa menemukan kelebihannya yang sering menjadi bahan gossip untuk para siswi-siswi di sekolahku. Aku akui, Pak Brahma mamiliki pesona dan karisma yang membuatnya terlihat cakep. Tapi, untuk ukuranku ngga memungkinkan.
“Dityaaaaa…“ teriak Bunda untuk entah yang kesekian kalinya
“Duuuh... Ditya sudah turun, Bunda“ kataku sambil menepuk pundak Bunda
“Awas telat loh... nanti beasiswamu bisa dicabut. Walaupun kamu pintar, tapi,   kalau tidak disiplin ya, sama saja, Ditya,“ kata Bunda menceramahiku
“Iya Bunda. Sudah cukup ceramahnya. Ditya berangkat dulu, biar ngga telat. Ditya pamit, Bunda, mmuach…“ kataku sambil mencium tangan kanan Bunda dan juga pipi kanan-kiri bunda tak lupa kucium.

Di Depan Gerbang Sekolah ...
“Paaaaak... jangan ditutup dulu pintu gerbangnya!!!” kataku sambil berlari dan menjulurkan tangan kananku ke arah pintu gerbang yang sebentar lagi akan tertutup rapat.
Tetapi, teriakanku tak di dengar olehnya. Huh... dasar satpam budeg ! Untung, badanku slim dan tepat di saat-saat terakhir, kuselipkan badanku ke celah kecil antara ujung pintu gerbang dengan temboknya.
“Fiuuuuh... hampir saja aku ngga bisa masuk,“ kataku sambil mengelap keringatku dengan tangan.
Segera aku tersadar setelah istirahat sejenak.
“Oh iya, Pak Brahmaaa..., Matematikaaa...“ teriakku sembari berlari di koridor sekolah.
Semua guru yang ku temui melihatku dengan bingung. Mereka membawa buku-buku yang tebal-tebal. Dan tanpa sengaja aku menabrak seorang guru.
“Maaf Bu,“ kataku tergesa-gesa.
Di Depan Kelas 10-3 ...
Tok ... tok ... tok ...
Terdengar suara ketukan pintu. Semua menoleh–kecuali cewek-cewek ganjen yang terus ngeliati Pak Brahma–termasuk Pak Brahma sendiri.
“Permisi, Pak, maaf saya terlambat“ kataku sok bersalah
“Masuk... dan sebelum kamu duduk, kerjakan dulu 15 soal yang sedang saya buat di papan,“ katanya sambil menunjukku dengan spidol yang sedang dia pegang.
“Mampus... aku kan belum bisa…“ gumamku dalam hati sambil menelan ludah.
“Bisa atau tidak kamu mengerjakan? kalau tidak lebih baik kamu di luar daripada kamu mengganggu pelajaran saya!!“ katanya dengan nada membentak dengan tangan yang diacungkan ke arah pintu masuk kelasku..
“Maaf... mengganggu,“ kataku sambil berbalik untuk keluar dari kelas itu.
Aku duduk di sebelah pintu sambil menangis. Untuk hiburan, aku ke lapangan basket untuk melihat siswa kelas 11 IPA 3 sedang olahraga. Karena sedang bengong, aku ngga melihat bola yang menuju ke arahku.
BUG ..
“Aw... sakit tahu...“ kataku dengan air mata yang hampir keluar dan memegangi jidatku yang merah.
“Sorry... balikin bolanya, kita mau pakai lagi!“ kata seseorang, yang pasti cowok dengan nada yang… uwgh… angkuh banget.
Aku ngga memperdulikan omongannya. Aku langsung berlari menuju ke tempat rahasiaku, kursi di dekat gudang yang sudah tidak di gunakan lagi. Serem sih, tapi, tenang banget kalau lagi duduk di sana. Soalnya di sana tuh sepi banget. Hampir ngga ada orang yang lewat sana.
“Huuh... hari ini aku sial banget. Udah telat, di marah Pak Brahma, dihukum, sekarang kena bola basket. Ngga bisa ya hari ini tuh berjalan lancar?“ kataku sambil memegang jidatku lalu menangis sejadi-jadinya. Tidak akan ada yang dengar, tempat ku ini jauh dari keramaian sekolah.
Seusai pelajaran Matematika yang terlihat seperti monster bagiku itu, aku kembali ke kelas. Melalui pelajaran Sosiologi dan Bahasa Jepang. Masih terasa sakitnya jidatku terkena bola basket nyasar itu. Nyeri banget. Tapi, walaupun aku memikirkan, siapa yang kira-kira melemparkan bolanya ngga jelas ke arahku, aku melalui dua pelajaran itu dengan lancar. Dan tiba saat-saat yang dari tadi ku tunggu-tunggu.
Teeet … teeet … teeet… teeeeeet ...
Bel pulang berbunyi. Semua murid langsung berhamburan pulang. Akupun langsung keluar kelas dan menunggu angkot yang menjadi langgananku di depan gerbang.
Di Panti Asuhan ...
“Ditya kamu kenapa?“ Tanya Bunda, panik.
“Ngga apa-apa Bunda, cuma dicium bola basket. Ngga parah kok,“ kataku menenangkan Bunda yang terlihat panik.
“Ya sudah, kamu istirahat dulu sana,“ kata Bunda kembali melanjutkan menyapu.
“Ditya ke kamar dulu ya, Bun,“ kataku sambil melangkahkan kaki menaiki tangga. Langkah yang sangat pelan. Langkah yang tidak bergairah hidup.
“Hari ini memang menyebalkan. Sangat menyabalkan!!“ pekikku dalam hati sambil menaiki satu persatu anak tangga.
Di Kamarku...
“Huh... tuh cowok belum pernah dikasihani ya gara-gara permainan basketnya yang hancur?“ kesalku sambil mengingat wajah cowok itu dan caranya yang bermain basket.
“Ditya, Wida datang tuh...“
“Suruh langsung ke kamar Ditya aja, Bunda,“ teriakku dari kamar
“Nak Wida, langsung ke kamar Ditya saja ya“
“Terima kasih Tante“
Tok... tok... tok...
“Masuk, Da“
“Hey... tadi kamu telat ya? kata Willa, kamu kena bola basket yang dilempar Adi ya? itu loh, cowok paling keren, cool, n cakep di sekolah, kapten basket lagi, bener? kalo bener, beruntung banget sih kamu, coba tadi aku yang telat,” katanya sambil mesem-mesem padaku.
“Ambil aja tuh kapten basket sialan!!“ kataku dengan nada meninggi.
“Oh iya, tadi Willa juga bilang kamu dikejar sama Adi. Katanya, Adi ngerasa bersalah udah buat kamu nangis,“ jelasnya sambil membaca katalog produk kecantikan.
“Ah, ngejar apanya, aku yakin dia ketawa ngakak… huh…“ ucapku membantah. Aku tak tahu aku kenapa tetapi, aku sangat senang.
“Terserah kamu sih mau percaya atau ngga“
“Ngapain kamu ke sini?“ kataku berusaha mengalihkan pembicaraan
“Masa aku jenguk kamu ngga boleh? kamu kan sohibku“
“Kok ngga bawa oleh-oleh. Buah kek... coklat kek...“
“Enak aja! Tekor nih... O iya, tadi kamu ditanyain sama Restu tuh...“ katanya sambil memandangiku. Genit.
“Ah... masa sih? Restu nanyain aku? Duh... senangnya hatiku ini“
“Restu aja langsung seneng, giliran sahabatnya sendiri… biasa-biasa aja,“ katanya dengan tatapan kesalnya.
“Sorry deh… Wida emang sahabat terbaik yang pernah aku punya,“ kataku berusaha menghiburnya.
Tetapi, entah karena apa aku lebih senang saat Wida menceritakan tentang Adi, sang kapten basket sekolah yang jadi primadona di sekolah. Satu-satunya orang yang–menurut para gadis-gadis sekolah–dapat mengalahkan pamor Pak Brahma.
Keesokan Harinya …
Hatiku kini sangat gembira. Sudah dari kemarin aku membayangkan akan bertemu Restu lagi setelah kemarin tidak. Dengan langkah yang tetap santai namun kini bergairah dan bersemangat aku menuruni tangga.
“Bunda, Ditya berangkat dulu ya…“
“Tumben, Dit. Biasanya harus Bunda bangunkan dulu,“ kata Bunda melihatku dengan tatapan heran melihat tingkahku.
“Masa Ditya mau berubah ngga boleh sih?“
“Iya… Bunda dukung kok“
“Daaaaah… Bundaaaa... mmmuaaaaachhh“
Di Pintu Gerbang Sekolah…
“Tumben, Neng tidak terlambat“
“Lagi rajin, Pak. Mari, Pak“
“Iya, Neng. Monggo…“
Dengan langkah santai dan hati yang berbunga-bunga, ku langkahkan kaki ke kelasku. Berharap hari ini tak seperti kemarin. Menyebalkan. Kufikir hari ini aku akan senang sampai pulang tapi, aku salah. Saat aku lewat di depan kelas 10-2–kelasnya Restu–aku melihat Restu memeluk seorang wanita yang ku kenal.
“Willaaaa... kamu sama Restu? aku ngga percaya. Teman makan teman!!!“ kataku sambil mengangis lalu berlari meninggalkan mereka.
Ku tak tahu harus bagaimana. Aku terus berlari dan berlari sambil menagis. Willa kan sudah tahu aku itu sayang sama Restu. Kenapa dia tega? Tangisan ku sudah memuncak ketika tiba di kelas. Segera ku duduk. Wida yang sedang asik ngobrol dengan Wisnu kaget mendengar suaraku.
“Kamu kenapa? dilemparin bola lagi sama Adi?“
“Ngga“
“Terus kenapa?“
“Willa… Willa sama Restu“
“Kanapa Willa sama Restu??? Kamu jangan buat aku penasaran gini deh”
“Mereka pelukan!!!” mengingat itu, tangisanku mulai pecah kembali.
“Willa? ngga mungkin. Dia itu juga sahabat kita“
“Tapi, aku lihat dengan mataku sendiri“
“Kurang ajar itu si Willa. Temen makan temen“
“Ngga apa-apa aku seneng liat Restu seneng walau pun dia bisa seneng sama sahabatku sendiri“
“Tapi, kamu nangis“
“Udah, aku juga ngga berhak ngelarang“
Willa masuk lalu duduk di tempatnya tanpa melihatku. Kita berdua terdiam. Wida memecah keheningan.
“Heh, nenek sihir, tega ya ngelihat sahabat sendiri nangis“
“Aku… aku… ngg…“
“Apa? Seneng? Dasar nenek sihir“
“Udah… ngga usah dilanjutin. Aku yang salah berharap terlalu banyak sama Restu. Aku seneng kalau Restu seneng,“ kataku menengahi masalah.
“Untung Ditya nyuruh aku ngga apa-apain kamu“
Kita bertiga diam. Bel masuk berbunyi. Pak Silabus masuk untuk mengajar Kimia.
“Tumben kalian bertiga diam waktu pelajaran saya,“ katanya dengan logat bataknya.
“Pak, bukannya Bapak yang ingin kita diam disaat pelajaran Bapak?“ kata Wida nyeroscos.
“Iya… iya… bagus kalau kalian sudah menyadari itu. Baiklah anak-anak buka halaman 112 pada buku paket“
Pelajaran dimulai. Kelas terasa sepi tanpa omelan Pak Silabus jika kita bertiga ribut. Kangen rasanya. Ingin kembali mendengarnya. Pelajaran Pak Silabus tidak masuk otak saat itu. Pikiranku hanya tertuju pada Restu. Tapi, aku juga memikirkan… Adi. Kenapa ya?
Di Kantin saat Istirahat…
“Kok cuma diliatin aja mie ayamnya? ngga kayak biasanya langsung dihabisin“
“Da, aku lagi ngga selera makan. Aku ke kelas aja dulu ya?“
“Pasti gara-gara nenek sihir sialan itu“
“Ngga kok…“
Aku berjalan di koridor dengan perasaan yang campur aduk. Kepalaku kutundukan ke bawah. Tiba-tiba…
BUG…
“Kamu lagi?“ teriak cowok itu
“Kenapa sih kamu selalu muncul di saat aku lagi sedih?“
“Suka-sukaku dong mau jalan dimana aja, emangnya ini jalan nenek moyang kamu?“
Aku tidak membalas pertanyaan mengejeknya itu. Tak kusangka dia memegang tangan kananku. Akupun berbalik. Ku tatap matanya yang coklat indah. Baru kusadari hal itu sekarang.
“Kenapa?!“ tanyaku ketus sambil setengah berteriak.
“Maaf untuk waktu itu. Aku ngga sengaja,“ katanya memecah keheningan setelah beberapa saat aku dan dia sibuk dengan pikiran kami masing-masing.
“Ngga apa-apa, aku sudah ngelupain semua,“ kataku sambil memaksa senyumku keluar.
“Makasih…“
Aku hanya bisa tersenyum manis padanya. Aku lagi tidak mood bicara. Akupun meninggalkannya sendiri.
“Hei… tunggu!!“ teriaknya. Padahal aku sudah jauh. Aku berbalik.
“Ada apa?“
“Nama kamu siapa?“
“Ditya. Anggun Praditya“ kataku sambil berbalik lagi.
“Eh, tunggu lagi,“ katanya. Aku berbalik lagi, berusaha sabar.
“Apa lagi?“
“Ditya kelas berapa?“
“10-3“
“Kebetulan aku mau ke ruang guru. Kan searah, kita jalan bareng, yuk!“ katanya sambil mengulurkan tangannya.
“Makasih. Ngga usah repot-repot“
“Ngga repot kok! mau ya“
“Ntar para fans kamu marah-marahin aku karna udah berani jalan bareng kamu”
“Aku jamin kamu pasti selamet,” katanya dengan senyum bak malaikat.
“Ya udah“
Kami pun jalan berdua ke kelasku. Semua cewek yang ngelihat kita berdua langsung ingin pingsan. Sehari jadi putri… wow… senangnya. Sesampainya di depan kelasku, aku melihat Restu sedang ngapelin Willa. Hatiku teriris. Sakit. Perih. Sedih. Air mata yang ku tahan akhirnya turun juga. Aku menangis. Adi terlihat panik.
“Ditya, kamu ngga apa-apa kan?“
“Ngga. Makasih sudah diantar“
“Sama-sama,“ katanya sambil memegang tanganku lalu menciumnya. Hatiku langsung dag-dig-dug dibuatnya.
“Dah…“
Dia melihatku dan baru beranjak dari situ setelah aku duduk di tempatku.
“Ditya, Adi itu pacar kamu ya?“ kata Siska, cewek yang naksir berat sama Adi.
“Ngga kok“
“Terus, kenapa dia mau nganterin kamu?“
“Kebetulan saja“
Entah kenapa aku tidak sedih lagi melihat Restu dan Willa saat Adi mencium tanganku tadi. Tanganku dicium Adi dan ada orang yang mengira aku pacarnya. Senangnya… rasanya saat itu juga aku sedang melayang. Jarang sekali saat pelajaran Matematika aku merasa senang. Matematika adalah pelajaran terakhir hari itu.
Teeet… teeet… teeet… teeeeeet…
Bel pulang berbunyi. Seperti biasa aku akan pulang naik angkot. Tiba-tiba aku dicegat dengan mobil Jazz merah di gerbang sekolah. Ternyata… Adi.
“Hai…Ditya pulang dengan siapa?“
“Sendirian, Kak“
“Kok panggil kakak? panggil Adi aja! Kalau gitu, sama aku aja ya?“
“Ngga… makasih Kak. Aku yang ngga enak kalau manggil kakak Adi aja. Ngga ngerepotin kakak?“
“Ya sudah. Ngga. Lagian, sekarang kan mendung. Nanti kamu sakit loh…“
Keterpaksaan yang menyenangkan. Diajak pulang sama kak Adi. Ups… maksudku Adi. Tapi, aku lebih nyaman manggil dia Kakak. Ya… terserahku kan?
Sesampainya di Panti…
“Panti ini rumahmu?“
“Iya… ya sudah, terimakasih ya“
“Loh, kok aku diusir? Ya… walau secara halus, tapi, tetep aja ngusir kan namanya?“ rengeknya, “aku ingin kenal saudara-saudaramu dan Ibu pantimu. Boleh kan?“
“Boleh sih, tapi, kakak ngga malu temenan sama aku?“
“Kenapa mesti malu? Aku seneng lagi punya kamu“
Saat itu, aku tak menyadari arti yang terdapat dalam kalimat yang baru saja dia lontarkan. Sesaat kemudian…
“Apa maksudnya dia ngomong ‘Aku seneng lagi punya kamu’. Hmm,” pikirku dalam hati.
Tanpa sempat aku menghentikan, dimasukkannya mobilnya ke dalam panti.
“Bundaaa… Kak Ditya ngajak teman cowok,“ teriak Agus, salah satu adikku
“Ssst… Agus, ngga usah teriak-teriak begitu. Mengganggu. Lagian, Kak Adi di sini cuma sebentar saja kok. Iya kan, Kak?“ kataku sambil menyenggol lengannya.
“Siapa bilang? Aku kan ingin mengenal adik-adikmu dan Bundamu,“ katanya yakin
“Ditya, ngajak teman kok ngga disuruh masuk dulu?“
Baru saja aku mau menjawab, tapi, sudah keduluan oleh Kak Adi.
“Bu, saya Adi, kakak kelasnya Ditya“
“Cieee… kak Ditya sudah punya pacar nih, Bunda!!“ teriak Agus disusul deheman-deheman anak panti yang lainnya
“Nak Adi tidak malu mengantar Ditya yang cuma seorang anak panti?“
“Ngga kok Bunda. Bolehkan saya panggil Bunda?“
“Tentu saja. Kamu boleh sering-sering main ke sini kok. Bunda senang mendapat ‘anak’ baru“
“Bunda, saya pulang dulu, saya hanya ingin mengenal Bunda dan adik-adik pantinya Ditya saja“
“Kok buru-buru? Ngga mampir dulu, Nak?“
“Maaf Bunda. Adi ada janji dengan Papa“
“Hati-hati ya, Nak Adi“
“Iya, Bunda, Ditya aku tunggu besok pulang sekolah di tempat kamu nangis. Dah semuaaa…“ katanya sambil berbisik padaku lalu berpamitan pada semua penghuni panti.
Semua melambaikan tangan kecuali aku. Sepertinya dalam waktu kurang dari sehari, Adi sudah bisa mencuri perhatian semua warga panti.
“Pinter banget dia buat bunda senyum seperti tadi. Aku yang sebagai anak asuhnya aja mungkin belum tentu bisa membuat bunda tersenyum seperti tadi,” batinku cemburu.
Keesokan Harinya …
Entah kenapa aku hanya memikirkan Adi. Aku sangat menunggu saat-saat pulang sekolah. Pelajaran Bahasa Indonesia berjalan lancar. Saat Istirahat aku tidak bisa konsentrasi dengan makananku. Hanya terpikir Adi, Adi, dan Adi. Bel masuk pun berbunyi. Bahasa Inggris dan Fisika aku jalani dengan mulus.
Tiba-tiba bel pulang berbunyi. Tidak biasanya aku hanya terdiam saat pelajaran. Aku selalu bertanya. Tetapi, entah mengapa hari ini tidak begitu. Sesuai janji, aku menunggu di lapangan basket tempatku menangis. Aku menunggu, menunggu dan terus menunggu aku berusaha menghilangkan rasa bosanku dengan mencari inspirasi menilis puisi. Satu jam telah berlalu. Saat itu sudah jam 2. tetapi, langit mendung. Aku langsung pergi ke WC belakang yang sudah tidak terpakai lagi, tempatku melepas segala masalahku. Setelah sampai disana, aku sangat kaget ternyata di sana ada Adi sedang tertidur.
“Kak, kenapa kakak bisa ada di sini?“
“Kenapa lama banget sih datengnya?“ katanya sebal.
“Bukannya janjiannya di lapangan Basket ya?“
Kan aku bilang di tempat kamu nangis, waktu di lapangan basket kan kamu cuma mewek-mewek aja. Nangisnya kan disini! Duduk dulu!“
“Ternyata benar kata Wida kalau Adi ngejar aku,“ batinku sambil mendudukan diri di sebelahnya.
“Kok diem aja?“
“Ngga apa-apa,“ tangisku mulai pecah.
“Kok nangis? Nih ada tissue,“ sambil mengeluarkan selembar tissue dan memberinya padaku.
“Abis udah satu jam lebih aku nungguin kakak, mana dingin lagi“
“Siapa suruh nunggu di sana? Aku juga nunggu di sini tapi, aku ngga nangis and ngga cengeng kayak kamu!!“ bentaknya.
Tangisku tambah besar. Aku ngga tahan ada orang yang membentakku seperti ini. Bunda aja kalau membentakku ngga seperti ini. Aku sebal.
“Loh? Kok malah tambah besar sih tangisannya?“
“Aku ke sini kakak yang nyuruh. Ngga usah bentak-bentak gitu dong!!“ tangis ku mulai mengeras lagi
“Iya deh, aku ngga bentak-bentak kamu lagi. Ssst… aku ngga mau lihat orang yang aku sayang nangis gara-gara aku“
“Apa? Aku ngga denger kakak bilang apa“
“Makanya, punya telinga di pakai!!!“
Kan kakak yang perlu sama aku. Ngga usah bentak-bentak. Aku make kok telingaku. Ngga cuma aku pajang!!“ bentakku padanya. “Padahal kan aku cuma ingin dia bilang sekali lagi dia sayang aku,“ batinku.
Aku langsung berdiri dan berlari meninggalkannya sendirian menuju lapangan basket. Dia mengejarku. Sesampainya di tengah lapangan basket, tangan kananku diraihnya. Di balikkan badanku dan dipeluknya aku. Jantungku dag-dig-dug dibuatnya. Persis ketika dia mencium tanganku. Tetapi, sekarang entah kenapa aku merasakan detakan yang lebih kencang.
“Aku akan mengulangi kata-kata ku yang tadi. Aku ngga mau orang yang aku sayang nangis gara-gara aku“
“Kakak sayang aku?“
“Iya Anggun Praditya. Aku suka, aku sayang, aku cinta kamu sejak pertama aku lihat kamu saat MOS kemarin. Aku mau jadi Kapten Hatimu. Aku mau jadi pacar kamu. Kamu mau ngga?“ teriaknya.
“Kenapa kakak bisa sayang aku?“
“Pertama aku cuma suka karna waktu MOS itu, aku lihat kamu sangat ceria walau sering mendapat hukuman. Kamu beda, buktinya waktu bolaku kena wajahmu, kamu ngga ganjen dan ngga membalikkan bolaku. Ngga seperti cewek-cewek yang lain yang langsung mengembalikan bolaku. Disitu aku makin tertarik sama kamu. Kamu itu manis, baik, ceria, dan beda dari cewek-cewek yang lain yang pernah kukenal bahkan yang cuma kulihat aja. Walau kamu cengeng, aku tetep nerima. Malah kamu tambah manis kalau lagi nangis. Gimana? Sekarang aku mau kamu jawab pertanyaanku tadi,“ jelasnya.
“Aku… hmm… aku… hmm… mau kakak jadi kapten hatiku yang paling aku sayang. Aku mau jadi pacar kakak,“ kataku dengan ekspresi tegang.
“Beneran?“ kata Adi dengan wajah memerah dan sangat senang.
Aku hanya bisa mengangguk pelan. Langsung, dipeluknya tubuhku. Tepat saat itu butir hujan pertama turun dan membasahi kita berdua. Kami tertawa-tawa bersama. Merasakan setiap tetes hujan yang jatuh. Walau hujan, tubuhku tetap hangat karena diselimuti hangat cinta yang diberikan oleh Adi.
“Masih mau manggil kakak atau sayang?“
“Sayang Adi. Boleh kan?“ kataku sambil tersenyum. Lebar.
Hujan semakin deras. Semakin erat pula kurasakan pelukan Adi ditubuhku. Dia tersenyum. Maniiiiis sekali. Aku ngga pernah ngerasa sesenang ini sebelumnya. Walaupun saat aku bersama Restu sekalipun.
Aku jadi ingat saat pertama kalinya aku terkena bola yang Adi lempar di bangku di ujuung lapangan sana. Semua kejadian berkesan yang aku dan Adi alami, semuanya sangat manis untuk dikenang.
“Aku Cinta Kamu, Adi Mahendra. Selamanya. 11 januari, akan terus kuingat hari ini,“ batinku sambil menatap wajahnya yang sedang tersenyum padaku.